Dua Puluh Empat — Tujuh
Jenuh katanya
Di stasiun kereta aku melihat beberapa pedagang asongan menjajankan dagangannya diantara lain; sop kaki buntut, nasi krawu, ronde & angsle, aku juga melihat perantau yang sedang berbalik pulang dan ingin menikmati sejuknya desa, harum lembut tangan ibu, hangatnya tubuh kekasih dan beberapa coretan kamar dan puisi yang lusuh, serta sepasang kekasih yang berciuman ditengah-tengah kerumunan bak film telenovia. Sesaat aku memandangi mereka yang terdapat adalah kejenuhan ya
Ke-jenuh-an
Melihat tagihan bulanan kontrakan yang belum terbayar, mengurus anak seorang diri, seorang bapak yang baru saja di phk oleh bosnya, anak kecil yang mengamen karna putus sekolah akibat keterbatasan biaya, dan seorang wanita cantik berdiri di pojok cafetaria terbayang traumanya karena dilecehkan di stastiun ya tapi apa boleh buat ia hanya bungkam karena masyarakat menganggap masalahnya sepele.
Dan aku, aku yang disini merenung melihat kerumunan manusia berwajah jenuh, berbaju kusut sedang memikirkan hari esok dan berlomba seakan tidak ada apa-apa. Padahal kejenuhan membunuhnya.